Blog Archives

Cybercrime dan UU ITE

Efektifitas UU ITE di Indonesia

 

Kemajuan teknologi di era globvalisasi dan modernisasi ini sudah tak dapat dibendung lagi. Hampir tidak mungkin untuk dicegah. Arus informasi dan update teknologi secara pesat terus berkembang. Dunia seakan tanpa sekat dengan mudahnya berkomunikasi dengan mengirim data audio, visual dan audio-visual. Sayangnya tidak semua orang memiliki niat yang lujrus-lurus saja. Bagi otak yang memliki kecenderungan criminal kecanggihan ini juga merupakan sebuah sebuah kesempatan untuk melancarkan niatnya. Baik yang bermotif profit ataupun mencemarkan nama baik, dan kesenangan pribadi.

Dalam hal iniliah memang merupakan kewajiban pemerintah untuk melindungi warganya dari segala bentuk kejahatan dunia maya atau cyber crime ini. Maka pemerintah berusaha memproduksi sebuah aturan atau UU untuk mengatur bentuk kejahatan ini.

Total ada 13 Bab dan 54 Pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi didalamnya. Tapi saya kutip beberapa muatan seperti berikut ini.

Cakupan  UU ITE
Secara umum, bisa kita simpulkan bahwa UU ITE boleh disebut sebuah cyberlaw karena muatan dan cakupannya luas membahas pengaturan di dunia maya, meskipun di beberapa sisi ada yang belum terlalu lugas dan juga ada yang sedikit terlewat. Muatan UU ITE kalau saya rangkumkan adalah sebagai berikut:
* Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas)
* Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP
* UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia
* Pengaturan Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual
* Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37):
o. Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan)
o. Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan)
o. Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti)
o. Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking)
o. Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi)
o. Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia)
o. Pasal 33 (Virus?, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS?))
o. Pasal 35 (Menjadikan Seolah Dokumen Otentik(phising?))

Adapun mengenai kasus-kasus yang terjadi memang sudah marak terjadi di Indonesia dimana Indonesia menduduki peringkat ke-3 di Asia tentang penyalahgunaan teknologi.

Secara garis besar, ada beberapa tipe cybercrime, seperti dikemukakan Philip Renata dalam suplemen BisTek Warta Ekonomi No. 24 edisi Juli 2000, h.52 yaitu:

a.       Joy computing, yaitu pemakaian komputer orang lain tanpa izin. Hal ini termasuk pencurian waktu operasi komputer.
b.      Hacking, yaitu mengakses secara tidak sah atau tanpa izin dengan alat suatu terminal.
c.       The Trojan Horse, yaitu manipulasi data atau program dengan jalan mengubah data atau instruksi pada sebuah program, menghapus , menambah, menjadikan tidak terjangkau dengan tujuan untuk kepentingan pribadi pribadi atau orang lain.
d.      Data Leakage, yaitu menyangkut bocornya data ke luar terutama mengenai data yang harus dirahasiakan. Pembocoran data komputer itu bisa berupa berupa rahasia negara, perusahaan, data yang dipercayakan kepada seseorang dan data dalam situasi tertentu.
e.       Data Diddling, yaitu suatu perbuatan yang mengubah data valid atau sah dengan cara tidak sah, mengubah input data, atau output data.
f.        To frustate data communication atau penyia-nyiaan data komputer.
g.       Software piracy yaitu pembajakan perangkat lunak terhadap hak cipta yang dilindungi HAKI.

RM Roy Suryo dalam Warta Ekonomi No. 9, 5 Maret 2001 h.12, kasus-kasus cybercrime yang banyak terjadi di Indonesia kurang lebih ada tiga jenis berdasarkan modusnya, yaitu:

1.      Pencurian Nomor Kredit.

Menurut Rommy Alkatiry (Wakil Kabid Informatika KADIN), penyalahgunaan kartu kredit milik orang lain di internet merupakan kasus cybercrime terbesar yang berkaitan dengan dunia bisnis internet di Indonesia.

Penyalahgunaan kartu kredit milik orang lain memang tidak rumit dan bisa dilakukan secara fisik atau on-line. Nama dan kartu kredit  orang lain yang diperoleh di berbagai tempat (restaurant, hotel, atau segala tempat yang melakukan transaksi pembayaran dengan kartu kredit) dimasukkan di aplikasi pembelian barang di internet.

2.      Memasuki, Memodifikasi, atau merusak Homepage (Hacking)

Menurut John. S. Tumiwa pada umumnya tindakan hacker Indonesia belum separah aksi di luar negeri. Perilaku hacker Indonesia baru sebatas masuk ke suatu situs komputer orang lain yang ternyata rentan penyusupan dan memberitahukan kepada pemiliknya untuk berhati-hati. Di luar negeri hacker sudah memasuki sistem perbnkan dan merusak data base bank

3.      Penyerangan situs atau e-mail melalui virus atau spamming.

Modus yang paling sering terjadi adalah mengirim virus melalui e-mail. Menurut  RM Roy M. Suryo, di luar negeri kejahatan seperti ini sudah diberi hukuman yang cukup berat. Berbeda dengan di Indonesia yang sulit diatasi karena peraturan yang ada belum menjangkaunya.

UU ITE di Indonesia perlu mengalami perbaikan, dimana karena adanya kerancuan-kerancuan di dlamnya. Sehingga tak jarang bisa dikatakan paal “kompromi”. Terlabih dimata internasional Indonesia sudah menduduki tingakat cybercrime yang cukup tinggi. Tentunya kita semua tidak maupemerintah hanya berpangku tangan dengan adanya kerugian-kerugian dan pandangan umum terhadap Indonesia yang tidak diharapkan